Moralitas dan etika menjadi terminologi kasuistik dan apologis/menjadi tuntunan sementara karena hikmah dalam dimensi hukum keimanan, hukum amal ibadah dan hukum dasar keilmuan yang menjadi tolak ukur perdaban belum definitif. Demoralisasi dan penyimpangan hal-hal etis hanyalah tafsiran-tafsiran dan apologia dari fenomena gunung es ketidaksingkronan dan ketidaksempurnaan memandan hukum(TUHAN) yang belaku universal. Agama yang menyatu dengan kuasa roh-roh, kesatuan dan keutuhan makna spiritualitas dalam mengatur dan mengimplementasikan kaedah-kaedah material(tangible) dan immaterial(intangeible) menjadi tugas pensyafaatan, yang memenangkan semua keadaban. Ketaatan kepada agama berparemeter holistik dan dapat dilihat dari realitas kehidupan pribadi dan bermasyarakat. Mengidentifikasi secara komprehensif dengan menelusuri permasalahan-permasalahan peradaban yang terpuruk dan penyelesaiannya secara utuh dengan Hikmah. Karena di haribaan Allah agama tidak lain dan tidak bukan adalah agama Hikmah. Akar permasalahan mengemukanya hal ini adalah blok mental spiritual dari sikap dan tindakan memisahkan pasangan-pasangan hakikat, seperti dunia dan akhirat, persepsi agama dan non agama, kebersihan jiwa dan kekotoran jiwa, dan yang paling fundamental adalah klaim kesucian yang sebenarnya hanyalah milik Allah. Bukan milik para utusanNYA(yang walaupun tidak suci memberi cahaya pencerahan) atau lebih absurd lagi ajaran agama tertentu. Agama bukanlah hal yang diimani karena ada campur tangan kebodohan (saling membunuh),kelemahan dan kedhaifan manusia yang meletakkan norma dan ketentuan agama dalam kriteria dan ukuran sekadar pemaknan dangkal yang didasarkan pengalaman sendiri atau kelompok.. Nilai-nilai hikmah universal ajaran agama seharusnya menjadi dasar dan rujukan menyelesaikan persoalan hidup dan kehidupan manusia, dengan fitrah kemanusiaannya dan keberagamannya. Mempertentangkan dengan simbol bahkan keberadaan di luar kelompoknya. Masih perlukah pengkristalan identitas diri? Di tengah kesadaran sebagai ummat Allah yang utuh dan menyatu. Demokrasi prosedural menjadi tameng kebejatan unsur-unsur negara dan masyarakat yang mengerucutkan kepentingan sendiri dan kelompok dengan jiwa kenegarawan yang memudar dan jauh dari hikmah yang agung, yang mendahulukan kesejateraan masyarakat yang inklusif. Diktator yang memaksakan kehendak secara tidak adil,meneguhkan kekuasaan dengan menguras kekayaan negara langsung ataupun dengan pengerukan sumber daya alam secara masif dan merampas hak dan uang rakyat, menjelma ke dalam koruptor-koruptor dan masyarakt luas yang berkamuflase dengan dalih kebebasan berekspresi dengan anarkis. Kritik yang dilakukan tidak lagi kionstruktif dan membangun.
Hal ini dapat dieliminasi dengan membangun sistem hukum yang humanis penuh hikmah yang kokoh mencegah dan menangkal, yang dalam teknis pelaksanaanya memproses secara integratif, cepat dan tanggap setiap penyimpangan ke depan. Kebaikan bersama dan keadilan ditegakkan. Semua ini ada dalam pemaknaan hikmah yang berdimensi metafisis tekstual dan secara empiris dibuktikan dengan mengkontekstualisasikan secara beradab. .Interaksi sekaligus interdependensi antara agama hikmah dan peradaban masyarakat menjadi komitmen yang holistik kepada Allah, serta menjadi jalan kemenangan bagi semua, dengan keutuhan spiritualitas kekitaan sebagai ummatNYA yang satu dan beragama Hikmah.
Hal ini dapat dieliminasi dengan membangun sistem hukum yang humanis penuh hikmah yang kokoh mencegah dan menangkal, yang dalam teknis pelaksanaanya memproses secara integratif, cepat dan tanggap setiap penyimpangan ke depan. Kebaikan bersama dan keadilan ditegakkan. Semua ini ada dalam pemaknaan hikmah yang berdimensi metafisis tekstual dan secara empiris dibuktikan dengan mengkontekstualisasikan secara beradab. .Interaksi sekaligus interdependensi antara agama hikmah dan peradaban masyarakat menjadi komitmen yang holistik kepada Allah, serta menjadi jalan kemenangan bagi semua, dengan keutuhan spiritualitas kekitaan sebagai ummatNYA yang satu dan beragama Hikmah.
Komentar
Posting Komentar